my daughter

my daughter

Jumat, 18 Oktober 2013

ABU HASAN AL ASY‘ARI, ASY ARIYAH, PEMIKIRAN, PERKEMBANGAN DAN PENGARUHNYA



ABU HASAN AL ASY‘ARI, ASY ARIYAH, PEMIKIRAN, PERKEMBANGAN DAN PENGARUHNYA
(Revisi)



 





MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Mata Kuliah
Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam
Semester I  Tahun Akademik 2013

Oleh;
SAPARI
NIM. 80100212170


Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Samiang Katu, MA
Dr. H. Muhammad Amri, Lc, M.Ag



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
M A K A S S A R
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Dalam sejarah Islam tercatat adanya berbagai macam golongan/aliran yang berkembang, antara satu dengan lainnya bertentangan faham yang sulit untuk di perdamaikan apalagi di satukan. Permasalahan ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak dapat dirubah lagi dan hal ini menjadi kekayaan dalam ilmu pengetahuan itu sendiri.
            Umat Islam yang berpengetahuan agama mendalam tidak heran melihat fenomena sejarah tentang timbulnya beragam golongan/aliraniran tersebut karena Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya telah meberikan sinyalemen tersebut.
Sebab utama kemunculan aliran-aliran teologi tersebut adalah karena faktor internal bukan eksternal.[1] yaitu meluasnya wacana kalam dalam dunia Islam. Di antara aliran- aliran yang berkembang dan fahamnya mempunyai pengaruh besar terhadap dunia Islam adalah Aliran Asy ariyah yang merupakan rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ismail al-Asy’ari dari Basrah, Iraq. Kemunculan faham ini sesungguhnya tidak lain adalah sebagai reaksi ketidakpuasan dan keragu-raguan pemahaman yang diyakini Asy’ari sebelumnya, hingga memunculkan/melahirkan suatu teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama faham Asy ‘ariyah ini.
Pada akhir abad ke 3 H, muncul dua tokoh yang menonjol yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Mereka bersatu dalam melakukan bantahan tehadap Mu’tazilah, meskipun sedikit banyak mereka mempunyai perbedaan.[2]
B.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mencoba memberikan batasan dalam beberapa sub masalah sebagai berikut :
            1.  Bagaimana biografi singkat Abu Hasan al-Asy’ari ?
            2.  Bagaimana pokok-pokok ajaran al-Asy’ariyah ?
            3.  Bagaimana perkembangan dan pengaruh pemikiran al-Asy’ariyah ?










BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Singkat  Abu Hasan Al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran al-Asy’ariyyah. Nama lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Abu Musa al-Asy’ari.[3]
Abu Hasan dilahirkan di Bashrah Iraq, dibesarkan dan wafat di Baghdad (260-324 H /873-935 M).[4] Beliau meninggal dunia dalam usia 64 tahun, 55 tahun sesudah meninggalnya Imam syafi’i Ra. Ayah al-Asy’ari wafat ketika ia masih kecil, menurut Ibnu Asakir ayah Asy’ari adalah seseorang yang berfaham Ahlussunnah dan Ahli Hadits. Sepeninggal ayahnya, Ibu al-Asy’ari menikah kembali dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i yang wafat tahun 321 H/915 M. Kehidupannya bersama seorang tokoh besar Mu’tazilah yang tidak lain ayah tirinya, inilah yang menghantarkan Ia perrnah menjadi seorang tokoh Mu’tazilah, dan bahkan menurut al-Husain Ibnu Muhammad al-‘askari, Al-Jubba’I berani mempercayakan perdebatan dengan lawan-lawannya kepada Al-Asy’ari.[5]
Kepada ayah tirinya al-Jubba’i inilah sejak kecilnya ia mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya terus sampai usia 40 tahun. Ia juga belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, kemudian belajar hadis pada ulama hadis di Baqdad, di antaranya Zakariyah bin Yahya al-Asy’ari, Abi Khilfah di Jamhy dan Sahl bin Sarh serta belajar Fiqhi pada Imam Syafi’i dan Abu Ishak al-Maruzi yang juga seorang tokoh Mu’tazilah di Basrah.[6] Ia belajar ilmu Kalam menurut paham Mu’tazilah, sehingga menjadikan beliau termasuk pendukung dan orang mu’tazilah yang tangguh.[7]
Al-Asy’ari adalah sosok yang masih keturunan darah sahabat nabi yaitu Abu Musa Al-Asy’ari r.a. Titisan darah moyangnya yang mengalir di tubuhnya inilah yang menyebabkan Ia popular dengan sebutan al-Asy’ari. Demikian As-sam’ani menulis dalam kitab Al-Ansab juz I hal. 264.[8] 
Adapun kepribadian al-Asy’ari sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tabyin hal 141.
“Kepribadiannya amat identik dengan sifat pemalu dan sejauh aku belum menemukan figure lain yang melebihi sifat pemalu yang melekat pada jiwanya dalam urusan dunia. Juga tidak satupun yang lebih giat dan rajin dalam mengamalkan praktik-praktik ibadah ritual serta urusan akhirat yang melebihi beliau.”[9]

Pada penjelasan lain, pakar sejarah Adz Dzahabi dalam kitab Al-Ibar  Fi Khabar min Ghabar, Juz 2 hlm. 203 menambahkan :
“Al-Asy’ari merupakan salah satu figur yang selalu menerima kenyataan dengan penuh ikhlas, qana’ah, disamping mampu menjaga diri”.[10]
                        
Adapun karya-karya Imam Asy’ari ini kurang lebih puluhan karya yang dihasilkan, namun ada tiga karyanya yang sangat terkenal yaitu kitab “ Maqalah al-Islamiyyin” (pendapat-pendapat golongan Islam).[11] Kitab yang lain adalah al-Ibanah ‘An Ushul al-Dhianah (keterangan tentang dasar-dasar agama), berisi tentang kepercayaaan Ahlu Sunnah, dengan dimulai Imam Ahmad Bin Hambal.[12] Dan kitabnya yang ketiga adalah al-Luma’ Fi al-Rad ‘Ala Ahlu al-Ziagh Wa al-Bida’, yang berisi sorotan atau bantahan terhadap lawan-lawan pendapatnya tentang berbagai masalah Ilmu Kalam.[13]
Dari buku-buku yang telah ditulis Imam a-Asy’ari inilah dapat diketahui ajaran-ajaran al-Asy’ari.
B.  Pokok-pokok Ajaran Al-Asy’ariyah
Pada dasarnya kaum As-y’ariah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub Aqal dan Naql, antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Atau Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual sehingga al-Gazali menyebutnya sebagai aliran Mutawassith atau pertengahan.
Dalam proses awal pemikiran ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya al-Asy’ari di rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba membandingkan dalil-dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah.
Adapun pokok-pokok ajaran al-Asy’ariyah yang dapat kita baca dari berbagai literatur adalah sebagai berikut :
1.  Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Pendapat Asy’ariyah tentang ini jelas berlawanan dengan Mu’tazilah yang meniadakan sifat Tuhan. Pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu mengenai Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang Qadim.[14] Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah.[15] Seperti halnya kaum salaf, mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya. Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu (Maha mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-lain.[16] Semua ini adalah sifat-sifat Azali (eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak berbuat.
2.   Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
Dalam pemikiran kebebasan berkehendak, terdapat dua pendapat yaitu golongan Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedang manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib) hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Karena itulah Al-Asy’ari dikenal dengan doktrin Kasb (perolehan) kaitannya dengan perbuatan manusia. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk dipertanggungjawabkan.[17] Doktrin ini sarana untuk menggambarkan kebebasan kehendak manusia, sehingga manusia mesti mempertanggungjawabkannya. Juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata.
3.   Qadimnya Al-Qur’an
Pendapatnya tentang al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk, dan yang bersifat Qadim hanya esensi al-Qur’an itu sendiri.[18]
4.   Akal dan wahyu dan criteria baik dan buruk.
Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut Asy’ariah, akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu, wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu.[19] Jadi pada dasarnya Asy’ari memberikan porsi besar pada wahyu dibanding dari pada akal.
Asy‘ari mengutamakan wahyu ketimbang akal dan untuk mengetahui baik dan buruk  harus berdasarkan wahyu, (kebalikan dari Mu’tazilah).
5.   Melihat dan bertemu Allah pada hari akhir
            Asy’ariyah tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim terutama zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan, kemungkinan ru’yat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil.[20]
6.   Muslim yang melakukan dosa besar.
Pandangan al-asy’ariyah tentang dosa besar, bahwa orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah swt dan rasulNya. Ia hanya digolongkan sebagai orang fasik (durhaka). Tentang dosa besarnya diserahkan kepada Allah swt, apakah akan diampuni atau tidak.[21] Oleh karena itu Siapa saja kata Asy’ari yang melakukan dosa besar lalu mati sebelum bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT.
7.   Keadilan Tuhan
Mengenai keadilan Tuhan sangatlah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena Asy’ari memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Jadi Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya.
Inilah sebagian besar dari pokok-pokok ajaran Asy’ari yang mendapat perhatian bagi para teolog dalam mengkaji aliran-aliran teologi dalam Islam.
C.   Perkembangan dan Pengaruh Ajaran Asy’ariyah
1.      Perkembangan Aliran Al Asy’ariyah
Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan aliran al Asy’ariyah diidentikkan dengan faham Ahlu Sunnah wal jama’ah, maka untuk membahas perkembangannya dan pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya sendiri.
a. Pasca meninggalnya al-Ghazali, di Baghdad tempat al Ghazali pernah mengajar, Nizam al Mulk mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al Nizamiah, Di sekolah-sekolah ini dan sekolah lain diajarkan teologi al-Asy’ariyyah. Dengan demikian paham-paham al- Asy’ariyyah tersebut di daerah kekuasaan saljuk.[22]
b.  Di Andalusia dan Afrika Utara; ibn Tumart, murid al-Gazali dan putra mahkota Bani Muwahhidin amat berjasa dalam menyebarkan aliran al-Asy’ariyah ini yakni sekitar abad ke 6 H.[23]
c.  Di Mesir aliran al-Asy’ariyyah dikembangkan oleh Salah al-Din al Ayyubi, sebagai pengganti aliran Syi’ah yang dibawa oleh kerajaan Fatimah yang berkuasa di Mesir dari tahun 969-1171 M. Ia menggantikan corak Syi’ah dengan corak ahlu Sunnah terutama dalam bidang ilmiah, kebudayaan dan agama.[24]
d.  Di dunia Islam bagian Timur sampai ke India ajaran ini dibawah oleh Mahmud al-Ghaznawi (999-1030 M). Kerajaan yang didirikan oleh Dinasti Ghaznawi ini berkuasa di Afghanistan dan Punjab.[25]
Disamping tokoh-tokoh di kalangan negarawan (penguasa) yang menyebarkan ajaran al-Asy’ariyyah terdapat pula para intelektual di kalangan al- Asy’ariyyah yaitu:
1)      Al Syahrastani, beliau memegang kitab yang berjudul al Milal wa al Nihal (Agama dan kepercayaan). Buku ini menjadi rujukan hingga saat ini. Ia menolak al-Tasybih (anthropomorphisme), al-Ta’til (mengosongkan Allah dari sifat-sifat-Nya), sebaliknya ia menegaskan bahwa sifat-sifat Allah itu ada pada zat.
2)      Fakhr al Din al Razi (606H/1209 M), ia adalah seorang Asy’ariyyah yang konsisten terhadap keAsy’ariyyahannya, walaupun cenderung kepada sebagian pandangan Mu’tazilah. Ia menafikan al-Jasmiyyah dan meneguhkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Kuasa (al- Qudrah), Maha Mengetahui (al Ilmu), Maha berkehendak (al Iradah), al Hayah, al Sama, al Bashr.[26]
3)      Alauddin al Idji (756 H/1355 M), ia adalah mantan hakim dan guru Sjiraz   yang menghasilkan karya-karya mengenai ketauhidan dan filsafat. Buku-buku buku diantaranya adalah al-Aqa’adul ‘Adhudiyah dan al-Muwaqif. Di akhir pembahasan dan kitabnya memperlihatkan sikap keAsy’ariyahannya dengan menafsirkan kata-kata al Sunnah wal Jama’ah dengan aliran al-Asy’ariyyah dan golongan Muhaddisin.[27]
4)      Muhammad Abduh (1322 H/1905 M), ia adalah seorang penyeru reformasi dan duta kebangkitan yang dihambat oleh kejumudan pemikiran, cakrawala sempit. Ia ingin mengembalikan Islam kepada kejayaan yang ada pada generasi Islam pertama, menurutnya Islam adalah agama tauhid. Memang al Qur’an menyebutkan sifat-sifat (Allah) yang mengenai manusia. Di sini akal memiliki ruan gerak yang begitu lebar untuk memahaminya . Yang harus kita imani, ialah kita harus tahu bahwa Ia adalah wujud yang tidak menyamai segala yang ada; Azali lagi abadi, Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, dan Maha Kuasa, sendiri dalam keharusan  adaNYa dan kesempurnaan sifat-sifatNya. Ia Maha Berfirman, Maha mendengar dan Maha Meliht, dan sifat-sifat lain sebagai konsekuensi semua itu yang dibawa oleh Syara’ dengan menerapkan sifat-sifat itu pada nama-Nya.[28]
Demikianlah beberapa tokoh al Asy’ariyyah (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang mengembangkan aliran ini setelah al Ghazali hingga memiliki pengaruh sampai saat ini.    
2.   Pengaruh al Asy’ariyyah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Apabila kita memperhatikan tokoh-tokoh al Asy’ariyyah yang dalam perkembanganya diidentikkan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasanya pengaruh ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:
a.  Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
b.  Al-Asy’riyyah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang sangat membantu penyebaran faham ini.
c. Para tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut antara lain: Maqalat al-Islamiyyah, al-Ibanah an Ushuluddianah, al Luma’ Ketiganya  oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh al Baqillani, al-Irsyad oleh al Juwaini, al-Qawaidul Aqa’id dan Ihya Ulumuddin oleh al Ghazali, Aqidatu Ahlut Tauhid oleh al Sanusi, Risalatut Tauhid oleh Muhammad Abduh dan karya-karya lainnya.
Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Misalnya; NU secara formal konstitusional menganut ideology ini, demikian pula Muhammadiyah secara tidak langsung mengakui ideology ini seperti yang terlihat adalah salah satu keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam (persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.[29]













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan ‘Ali bin Ismail, bin Abi Basyar, Ishaq bin Salim, bin Ismail bin Abdillah, bin Musa al’Asy’ari.  Abu Hasan dilahirkan di Bashrah Iraq, dibesarkan dan wafat di Baghdad (260-324 H /873-935 M), Ayahnya wafat ketika ia masih kecil, kemudian Ibunya menikah kembali dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i. Kehidupannya bersama al-Jubba’i inilah yang menghantarkan Ia perrnah menjadi seorang tokoh Mu’tazilah, namun sampai usia 40 tahun karena kepintarannya dia keluar dari Mu’tazilah dan mendirikan aliran Asy’ariyah, karena dia merasa tidak sepaham lagi dengan Mu’tazilah.
Pokok-pokok ajaran Asy’ariyah di antaranya tentang :         
1.  Tuhan dan sifat-sifat-Nya.  2.   Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)            3.   Qadimnya Al-Qur’an       4.   Akal dan wahyu dan criteria baik dan buruk.           5.   Melihat dan bertemu Allah pada hari akhir 6.   Muslim yang melakukan dosa besar. 7.   Keadilan Tuhan.
            Perkembangan Asy’ariyah ini sangat pesat pasca meninggalnya Imam Al-ghazali, mulai dari Baghdad, Andalusia, Afrika Utara, Mesir bahkan di dunia Islam bagian Timur sampai ke India.
            Pengaruhnya sangat luar biasa sampai saat ini, Di Indonesia misalnya NU, Muhammadiyah dan persist secara formal konstitusional menganut ideologi, bahkan diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980).
Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni, (Solo: Ramadhani1868).
Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah an al Usnul al Dinayah, (Cet. 1;Markaz Syu’uni al-ada’wah:Saudi Arabia, 1409 H).
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996).
Al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, (Jilid I Cairo: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967).
Cyrill Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 1999).
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakarta: 1992/1993).
Drs Mustafa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Bilaa Mazhaabib, diterjemahkan A.M. Basalamah, Islam Tidak Bermazhab, (Cet. 1;Jakarta:Gema Insani Press, 1994).
Harun Nasution; Teologi Islam, aliran-aliran,, sejarah, analisa perbandingan, (Cet. 5; Jakarta: UI-Press 1986).
Imam Abi al-Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari, al-Ibaanatuh An Ushulu ad-Diyaanatuh (al-Mamlakah al-A’rabiyah as-Su’diyah al-Jaamiyah al-Islamiyyah Bil-Madinatih al-Munawwarah : Markas Syu’unu ad-Da’watih, 1409).
Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teory Filsafat Islam, (Jakart: Bumi Aksara, 1995).
Muh. Dawam Sukardi, 51 Ijma’ Serat-serat Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Cet. 1; Pustaka Azzam; Jakarta 2001).
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah diterjemahkan oleh Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996).
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah TelaahKritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta : Paramadina, 1992).
Syafiq A. Mughni, “Ahlu Sunnah wal jama’ah dan posisi Teologi Muhammadiyah,” Suara Muhammadiyah, 1995.
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986).















                                                               




[1]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan peradaban,  (PT. Ihtiar Baru Van Hoeve), Jilid. 6, h. 194.
[2]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah diterjemahkan oleh Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 190.
[3]Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 66.
[4]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah TelaahKritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta : Paramadina, 1992), hal. 270
[5]Harun Nasution; Teologi Islam, aliran-aliran,, sejarah, analisa perbandingan,  (Cet. 5; Jakarta: UI-Press 1986, hal. 66.
[6] Mustafa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Bilaa Mazhaabib, diterjemahkan A.M. Basalamah, Islam Tidak Bermazhab, (Cet. 1;Jakarta:Gema Insani Press, 1994),hal. 384.
[7] Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 66.
[8] Muh. Dawam Sukardi, 51 Ijma’ Serat-serat Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Cet. 1; Pustaka Azzam; Jakarta 2001). Hal. 48
[9] Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah an al Usnul al Dinayah, (Cet. 1;Markaz Syu’uni al-ada’wah:Saudi Arabia, 1409 H) h. 7.
[10] Muh Dawam, Sukardi, Ibid., hal. 53
[11] Umar Hasyim, Op.cit. h. 67.
[12] Imam Abi al-Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari, al-Ibaanatuh An Ushulu ad-Diyaanatuh,  (al-Mamlakah al-A’rabiyah as-Su’diyah al-Jaamiyah al-Islamiyyah Bil-Madinatih al-Munawwarah : Markas Syu’unu ad-Da’watih, 1409), h. 2.
 [13] Umar Hasyim, Op.cit .
[14] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia,  (Jakarta: 1992/1993), h. 155.
[15] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teory Filsafat Islam, (Jakart: Bumi Aksara, 1995), h. 65.
[16] Ibid.
[17] Lihat Cyrill Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 1999), h. 41.
[18] Ibid.
[19] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 17.
[20] Lihat al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, (Jilid I, Cairo: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967), h. 124.
[21] Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni,  (Solo: Ramadhani, 1968). hal. 30.
[22] Harun Nasution,Op. cit., h. 75.
[23] Ibrahim Madkour, Op. cit., h. 75.
[24] A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam,  (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), h. 120.
[25] Harun Nasution, Op .cit., h. 75.
[26]Ibrahim Madkour, Op. cit., h. 75-76.
[27]A. Hanafi, Op. cit., h. 116.
[28] Ibrahim Madkour, Op. cit., h. 79.
[29] Syafiq A. Mughni, “Ahlu Sunnah wal jama’ah dan posisi Teologi Muhammadiyah,” Suara Muhammadiyah, 1995, h. 51

1 komentar:

  1. youtube.com: 5) The Sega Genesis and Atari ST are NOT - Videodl
    However, thanks to the help of the Sega Mega Drive, the Sega Saturn has become a true console of its time. youtube mp3

    BalasHapus